"Wahai Laut yang lenggang, apalah arti kehilangan? Ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan."
"Wahai Laut yang sunyi, apalah arti cinta? Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimna mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?"
"Wahai Laut yang gelap, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? dan tidak terbilang keinginan melupaka saat kami rindu? hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja."
"Rindu". Hal 494-495. 2014. Novel karya Tere Liye. Penerbit : Republika, Jakarta.
Halaman favorit di buku ini. Menggambarkan kebingungan sosok Gurutta (tokoh ulama terkenal, 75 tahun -dalam novel), padahal sejatinya beliau adalah ulama mahsyur yang terkenal. Sosoknya sangat dihargai oleh para penumpang kapal, bahkan oleh kapten kapal beserta kelasinya. Omongannya didengar dan tak sedikit yang menanyakan pertanyaan seputar kehidupan kepada beliau. Dihormati. Disegani.
Tapi jangan salah, ulama terkenal, dan berpengalaman saja masih mempunyai banyak pertanyaan mengenai hidup. Memiliki. Kehilangan. Cinta. dan Rindu. Empat hal yang sangat membutuhkan jawaban, namun laut tentunya tidak dapat berkata, Empat hal yang membuat gusar, namun laut tetap tidak dapat berkata.
Seringkali kita memiliki sebuah/beberapa pertanyaan, lantas menunggu jawaban.. menunggu, hingga akhirnya jawaban didapat. Tapi kenapa seringkali kita kecewa dengan jawabannya? Bukankah yang kita tunggu adalah jawaban? Atau sebenarnya yang betul-betul kita tunggu adalah persetujuan?
Kecewa dengan keputusan-Nya padahal hanya Dia yang pantas menjawabnya.
Benarkah selama ini doa-doa yang kita panjatkan adalah sebuah paksaan kepada-Nya? -padahal sangat tidak mungkin Dia dipaksa. Yang ketika jawabannya berupa keputusan "Tidak", "Bukan", "Nanti dulu", "Tidak sekarang", "Bukan kamu", lantas kita merasa marah, kesal, benci, menganggap Dia tidak adil, Dia tidak mendengar doa kita. Benarkah?
Atau ketika kita diberikan jawaban berupa sebuah peristiwa, pelajaran kehidupan, pengalaman, nasihat teman. Namun kita tidak mau terima dengan jawaban itu kemudian kita mencari-cari sebuah alasan, mencari-cari pembenaran, merubah makna ayat, merubah makna hadits, berkata palsu. Benarkah?
Sekali lagi seharusnya kita bertannya kepada diri sendiri. Apakah itu sebuah pertanyaan (doa-doa) atau kah sebuah kalimat paksaan?