Rabu, 29 Agustus 2018

KESANGGUPAN DAN KEBERANIAN part1

Hmm setahun lalu lagi apa ya… lagi cari beberes kelengkapan wisuda tapi apa daya ga dapet kloter wisuda agustus, Alhamdulillah masih dapet yang kloter November

Oke mundur lagi, 2 tahun lalu lagi apa ya.. lagi sibuk praktikum terakhir. Praktikum 3. Kali itu praktikumnya gak terlalu banyak laporan, tapi mesti jualan. Dan memegang jabatan sebagai bendahara cukup memusingkan karena memikirkan pengeluaran dan pemasukan.

Okay, jangan kejauhan. Mau mundur ke kira-kira satu setengah tahun yang lalu. Yaitu momen semester 8. Semester paling ga banyak kelas. Alhamdulillah beberapa kali kesempatan justru mengisi kelas. Semester 8. Semesternya skripsi.

Mau nulis tentang skripsi karena baru-baru ini booming lagi karena ‘sudah waktu’nya adik tingkat untuk lulus tepat waktu. Juga karena fenomena lulus cepat vs lulus tepat waktu dengan berbagai alasan para pelaksananya.

Saya dulu masuk semester pertama Agustus 2013 dan lulus di bulan Juli 2017. Well, I can say it was proper time. Right time. Or whatever. Well, honestly bisa lulus di waktu yang tepat didasari dengan alasan kuat ‘gak mau nyusahin orang tua’. Gak terlalu banyak pengganggu yang menanyakan ‘kapan lulus bar’ yah karena emang belum molor waktunya. Bukan juga didominasi oleh teman-teman sepaguyuban yang satu per satu bisa foto pakai selempang ‘Paguyuban, S.T siap dilamar’. Yeah karena pada dasarnya kita meneliti hal yang berbeda. Tempat berbeda. Waktu start berbeda. Dosen pembimbing berbeda. Lantas apa alasan yang mengharuskan kita harus ‘sama’?.. none

Apakah lulus tepat waktu berarti pintar? Tidak pasti. Apakah lulus tepat waktu berarti penelitiannya gampang? Well ‘gampang’ adalah ukuran relative. (tapi kalau ada yang ngegampangin penelitian saya, sini yuk berantem :”) ) apakah lulus tepat waktu berarti beruntung karena dosen pembimbingnya baik? HAHAHA justru dosen saya adalah salah satu dosen yang dihindari karena terkenal telitinya. Lantas apa yang buat bisa lulus tepat waktu. Ya itu tadi, utamanya adalah rasa tidak ingin menyusahkan orang tua. Alasan lain adalah karena para pendukung di balik layar.

Sedihnya, pemeran utama alasan lulus tepat waktu yaitu ‘orang tua’ bukanlah termasuk pendukung di balik layar yang nampak. Sekali lagi ‘yang nampak’. Apakah ada perlakuan khusus ketika berjuang skripsi? Gak ada. Apakah ada kata-kata penyemangat? Seingat saya tidak ada. Apakah ada bantuan? Ada, pasti. Tapi justru kadang pertanyaan mereka tentang ‘kapan teh? Si ini udah, si itu udah’ adalah hal yang menyakitkan. Well kalau mereka gak bermaksud menyindir, I know, mereka cuma mau tau progress. Walau kadang memang hal itu gak diterima positif oleh hati. Jadi kalau ada yang menebak lulus tepat waktu karena dukungan orang tua. Yeah mana ada. Doa mungkin, wallahu’alam. But still, Alhamdulillah saya punya support system untuk urusan langit.

Pemeran pendukung adalah orang dekat, orang nyeletuk, kadang orang lewat, kadang orang yang duduk bareng di depan jurusan saat mau bimbingan.
Awalnya, saya punya seorang teman yang sudah ada mulai lebih dulu, dan sudah ada tempat penelitian. Lalu menawari saya untuk penelitian di tempat yang sama. Memberi secercah harapan, karena saya tipe yang gak punya banyak ‘orang dalam’ di perusahaan manufaktur. Tapi karena berbagai factor. Saya lambat, ragu, dan gak berani untuk ‘nembak’ perusahaan tersebut. Well yes, I am little coward. Jadilah terbang semua rencana. Padahal saya sudah ada judul. Lalu akhirnya dapat perusahan kedua dan sekaligus yang terakhir.

Survey. Kemudian mikir. Oke, saya sudah ada rencana akan meneliti tentang apa. Tahap selanjutnya adalah pembuatan proposal. Di sini lah awal kata ‘kesanggupan’ itu.

Rabu, 01 Agustus 2018

Perhitungan yang Salah

Case 1: berpikir kayaknya sangat logis jika orang-orang kaya (which means orang yang bisa beli apapun kapanpun dia mau, dan CASH) pasti adalah orang yang sangat kencang ibadahnya. Mari dikerucutkan dengan sebuah ibadah. Sebut saja SHALAT. Wah jelas dong, pasti karena ketaatan dan dan kedekatan  dengan Tuhan maka dari itu dia bisa mendapatkan kemudahan dengan menjadi Orang Kaya.
But BOOM!!, semakin bertambah umur, semakin melihat dunia, semakin berada di lingkungan Heterogen, teorinya malah tersanggah dengan kelakukan para Orang Kaya yang does what S/He wants to do. Termasuk gak Shalat. Justru karena kekayaannya membuat mereka berpikir “ah ini kan hasil kerja keras gua” (bukan karena rezeki dari ibadah) atau “Ah hidup gua baik-baik aja, bahkan walau gua ga shalat dll” atau “buat apa sih ibadah, gua udah punya semuanya”. Cased closed. I was wrong

Case 2: berpikir kayaknya sangat logis jika orang-orang miskin (which means orang yang ga bisa beli apapun kapanpun dia mau, termasuk orang yang bahkan mau beli makan untuk saat itu aja susah) pasti adalah orang yang sangat kencang ibadahnya. Mari dikerucutkan dengan sebuah ibadah. Sebut saja SHALAT. Wah jelas dong, pasti kebutuhannya yang banyak, hidup yang sulit, keinginan terpendam untuk bisa beli beli semudah Orang Kaya pasti membuat mereka merasa harus mendekatkan diri dengan Tuhannya. Istilahnya Caper. Apa caper ke Tuhan itu salah? Sebuah bentuk ‘menjilat’? oh bukaaann. Tenang saja Tuhan akan lebih tahu mana yang menjilat dan mana yang tulus. Tuhan justru senang dengan hamba yang berusaha untuk mendekatkan diri. Dan melihat di banyak acara TV juga banyak menayangkan misalnya seorang pemulung tapi tiap waktu Shalat selalu mengusahakan diri berjamaah di masjid. Orang Kaya.
But BOOM!!, semakin bertambah umur, semakin melihat dunia, semakin berada di lingkungan Heterogen, teorinya malah tersanggah dengan kelakukan para Orang Miskin yang gak Shalat. Mereka Lelah dengan doa-doa yang tidak kunjung dikabulkan. Lelah dengan pekerjaan hariannya yang berat tapi hanya menghasilkan sedikit. While mereka melihat Orang Kaya yang seenaknya korupsi. Atau mereka lihat Orang kaya yang gak shalat tapi hidupnya tetap baik. Kemudian mereka menyimpulkan bahwa gak butuh shalat untuk mendapat rezeki, asalkan mereka semakin giat ‘banting-tulang’, ambil job sana-sini, menjilat atasan biar dapat promosi. And then, mereka jadi punya harta yang banyak. Cased closed. I was wrong

Case 3 : berpikir kayaknya enak ya lahir di sebuah keluarga yang agamis. Keluarga agamis pasti adalah orang yang sangat kencang ibadahnya. Mari dikerucutkan dengan sebuah ibadah. Sebut saja SHALAT. Setiap waktu shalat, anggota laki-laki akan berangkat ke masjid untuk berjamaah. Anggota perempuan akan berjamaah di dalam rumah. Saling menyalami setelah shalat berharap ampunan dosa. Kemudian saling membuka Al-Quran. Ada yang meneruskan bacaan, ada pula yang mengulang hapalan. Tentram. Adem. Sejuk. Sepertinya. Kemudian setelah serangkaian ibadah penuh khidmat, maka ada ‘pertemuan’. Bahasannya ya apa saja. Lebih banyak tentang masalah saat ini dan cara mengahadapinya, tak jarang membahas rencana masa depan. Too good to be true. Keluarga Shaleh-Shalelah. Bahkan lebih kuidamkan daripada sebutan keluarga cemara. Semua terjamin berjalan seperti seharusnya. Anak-anak yang selalu meng’iya’kan perintah orang tuanya. Dan orang tua yang selalu mendukung penuh keputusan anaknya. Berjalan seperti seharusnya. Ibadah mereka yang terjaga. Sepertinya. But BOOM!! Semakin bertambah umur, semakin melihat dunia, semakin banyak bertemu orang lain. Awalnya satu, lantas hanya menjadi cerita yang dapat dihiraukan. Lalu dua. Tiga. Empat. Dan seterusnya. Boleh setuju atau tidak. Boleh pergi atau tidak. Agama memang sebuah hal yang sensitive bukan? Aku pun perlu banyak hari untuk berani menuliskan ini. Ternyata memang mereka hanya sepertinya. Beberapa. Sekali lagi, ‘beberapa’ dari bagian keluarga itu justru berontak. Berontak? Entah kata apa yang sebenarnya lebih tepat. Tapi gambarannya adalah seperti sebuah bola basket dihantamkan. Mereka tertolak. Sebagian justru bertindak sangat ekstrim, sebagian ekstrim, sebagian hanya berbeda dari yang lainnya. Bagaimana seseorang dari keluarga sangat kondusif bisa seberontak itu? Entahlah. Bagaimana mungkin dia bisa seesktrim itu? Entahlah. Bagaimana mungkin sampai bisa sebegitunya yang bahkan tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata? Entahlah. Bagaimana mungkin hidup Bersama ibu dan bapaknya yang melakukan dakwah ke banyak tempat, mengajarkan syariat, hal yang boleh dan tidak boleh, memiliki banyak murid ajar, tapi anaknya, anaknya justru menjadi pemberontak ajaran yang disebarkan orang tuanya ? entahlah. Mungkinkah bosan? Mungkinkah ajaran yang sebegitu kentalnya dari kecil justru mereka membuat enggan? Entahlah. And the irony is, they shared it. WTH! Shame on them. Gimana pandangan orang-orang tentang orang tuanya? Mari kerucutkan x dengan sebagian contoh, tidak menutup aurat,  pacaran,  'dunia malam' . Do they even care? Omg… saat orang tuanya bilang jangan melakukan x kepada orang lain, justru anaknya melakukan x dan dibanggakan di social media. Susah dimengerti. Susah.

Sampai suatu hari, mendengar kajian dari seorang ustad. Kurang lebih intinya “tidak ada yang bisa mendefinisikan seseorang berdasarkan defines orang lain”. seperti misalnya anak didenisikan dari  orang tuanya. Contoh nya keluarga nabi Nuh. Bahkan seorang nabi tidak bisa mengislamkan anak nya. Atau orang tua didefinisikan dari anaknya. Contohnya nabi Ibrahim. Bahkan walaupun anaknya seorang nabi, tidak lantas membuat orang tuanya mau beriman. Atau pasangan terhadap pasangan lainnya. Seperti Asiah, tidak bisa membuat Fir’aun beriman. Betapa sebuah hubungan kondusif tidak bisa lantas menjadikan semua baik-baik saja.

Oh Allah. Yang Maha Benar. Maka inilah representasi ayatMu bahwa engkau menyesatkan siapa yang Engkau kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Maka siapa hamba yang membuat penilaian ketaatan seseorang berdasarkan hartanya, kedudukannya, maupun status keluarganya. Maka memang jelas bahwa ayatMu adalah petunjuk bagi orang-orang berakal. Siapa hamba yang pengetahuaanya sangat tidak mumpuni untuk berlagak sok tahu. Maha Benar Engkau