Case 1: berpikir kayaknya sangat logis jika orang-orang kaya (which means orang yang bisa beli apapun kapanpun dia mau, dan CASH) pasti adalah orang yang sangat kencang ibadahnya. Mari dikerucutkan dengan sebuah ibadah. Sebut saja SHALAT. Wah jelas dong, pasti karena ketaatan dan dan kedekatan dengan Tuhan maka dari itu dia bisa mendapatkan kemudahan dengan menjadi Orang Kaya.
But BOOM!!, semakin bertambah umur, semakin melihat dunia, semakin berada di lingkungan Heterogen, teorinya malah tersanggah dengan kelakukan para Orang Kaya yang does what S/He wants to do. Termasuk gak Shalat. Justru karena kekayaannya membuat mereka berpikir “ah ini kan hasil kerja keras gua” (bukan karena rezeki dari ibadah) atau “Ah hidup gua baik-baik aja, bahkan walau gua ga shalat dll” atau “buat apa sih ibadah, gua udah punya semuanya”. Cased closed. I was wrong
Case 2: berpikir kayaknya sangat logis jika orang-orang miskin (which means orang yang ga bisa beli apapun kapanpun dia mau, termasuk orang yang bahkan mau beli makan untuk saat itu aja susah) pasti adalah orang yang sangat kencang ibadahnya. Mari dikerucutkan dengan sebuah ibadah. Sebut saja SHALAT. Wah jelas dong, pasti kebutuhannya yang banyak, hidup yang sulit, keinginan terpendam untuk bisa beli beli semudah Orang Kaya pasti membuat mereka merasa harus mendekatkan diri dengan Tuhannya. Istilahnya Caper. Apa caper ke Tuhan itu salah? Sebuah bentuk ‘menjilat’? oh bukaaann. Tenang saja Tuhan akan lebih tahu mana yang menjilat dan mana yang tulus. Tuhan justru senang dengan hamba yang berusaha untuk mendekatkan diri. Dan melihat di banyak acara TV juga banyak menayangkan misalnya seorang pemulung tapi tiap waktu Shalat selalu mengusahakan diri berjamaah di masjid. Orang Kaya.
But BOOM!!, semakin bertambah umur, semakin melihat dunia, semakin berada di lingkungan Heterogen, teorinya malah tersanggah dengan kelakukan para Orang Miskin yang gak Shalat. Mereka Lelah dengan doa-doa yang tidak kunjung dikabulkan. Lelah dengan pekerjaan hariannya yang berat tapi hanya menghasilkan sedikit. While mereka melihat Orang Kaya yang seenaknya korupsi. Atau mereka lihat Orang kaya yang gak shalat tapi hidupnya tetap baik. Kemudian mereka menyimpulkan bahwa gak butuh shalat untuk mendapat rezeki, asalkan mereka semakin giat ‘banting-tulang’, ambil job sana-sini, menjilat atasan biar dapat promosi. And then, mereka jadi punya harta yang banyak. Cased closed. I was wrong
Case 3 : berpikir kayaknya enak ya lahir di sebuah keluarga yang agamis. Keluarga agamis pasti adalah orang yang sangat kencang ibadahnya. Mari dikerucutkan dengan sebuah ibadah. Sebut saja SHALAT. Setiap waktu shalat, anggota laki-laki akan berangkat ke masjid untuk berjamaah. Anggota perempuan akan berjamaah di dalam rumah. Saling menyalami setelah shalat berharap ampunan dosa. Kemudian saling membuka Al-Quran. Ada yang meneruskan bacaan, ada pula yang mengulang hapalan. Tentram. Adem. Sejuk. Sepertinya. Kemudian setelah serangkaian ibadah penuh khidmat, maka ada ‘pertemuan’. Bahasannya ya apa saja. Lebih banyak tentang masalah saat ini dan cara mengahadapinya, tak jarang membahas rencana masa depan. Too good to be true. Keluarga Shaleh-Shalelah. Bahkan lebih kuidamkan daripada sebutan keluarga cemara. Semua terjamin berjalan seperti seharusnya. Anak-anak yang selalu meng’iya’kan perintah orang tuanya. Dan orang tua yang selalu mendukung penuh keputusan anaknya. Berjalan seperti seharusnya. Ibadah mereka yang terjaga. Sepertinya. But BOOM!! Semakin bertambah umur, semakin melihat dunia, semakin banyak bertemu orang lain. Awalnya satu, lantas hanya menjadi cerita yang dapat dihiraukan. Lalu dua. Tiga. Empat. Dan seterusnya. Boleh setuju atau tidak. Boleh pergi atau tidak. Agama memang sebuah hal yang sensitive bukan? Aku pun perlu banyak hari untuk berani menuliskan ini. Ternyata memang mereka hanya sepertinya. Beberapa. Sekali lagi, ‘beberapa’ dari bagian keluarga itu justru berontak. Berontak? Entah kata apa yang sebenarnya lebih tepat. Tapi gambarannya adalah seperti sebuah bola basket dihantamkan. Mereka tertolak. Sebagian justru bertindak sangat ekstrim, sebagian ekstrim, sebagian hanya berbeda dari yang lainnya. Bagaimana seseorang dari keluarga sangat kondusif bisa seberontak itu? Entahlah. Bagaimana mungkin dia bisa seesktrim itu? Entahlah. Bagaimana mungkin sampai bisa sebegitunya yang bahkan tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata? Entahlah. Bagaimana mungkin hidup Bersama ibu dan bapaknya yang melakukan dakwah ke banyak tempat, mengajarkan syariat, hal yang boleh dan tidak boleh, memiliki banyak murid ajar, tapi anaknya, anaknya justru menjadi pemberontak ajaran yang disebarkan orang tuanya ? entahlah. Mungkinkah bosan? Mungkinkah ajaran yang sebegitu kentalnya dari kecil justru mereka membuat enggan? Entahlah. And the irony is, they shared it. WTH! Shame on them. Gimana pandangan orang-orang tentang orang tuanya? Mari kerucutkan x dengan sebagian contoh, tidak menutup aurat, pacaran, 'dunia malam' . Do they even care? Omg… saat orang tuanya bilang jangan melakukan x kepada orang lain, justru anaknya melakukan x dan dibanggakan di social media. Susah dimengerti. Susah.
Sampai suatu hari, mendengar kajian dari seorang ustad. Kurang lebih intinya “tidak ada yang bisa mendefinisikan seseorang berdasarkan defines orang lain”. seperti misalnya anak didenisikan dari orang tuanya. Contoh nya keluarga nabi Nuh. Bahkan seorang nabi tidak bisa mengislamkan anak nya. Atau orang tua didefinisikan dari anaknya. Contohnya nabi Ibrahim. Bahkan walaupun anaknya seorang nabi, tidak lantas membuat orang tuanya mau beriman. Atau pasangan terhadap pasangan lainnya. Seperti Asiah, tidak bisa membuat Fir’aun beriman. Betapa sebuah hubungan kondusif tidak bisa lantas menjadikan semua baik-baik saja.
Oh Allah. Yang Maha Benar. Maka inilah representasi ayatMu bahwa engkau menyesatkan siapa yang Engkau kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Maka siapa hamba yang membuat penilaian ketaatan seseorang berdasarkan hartanya, kedudukannya, maupun status keluarganya. Maka memang jelas bahwa ayatMu adalah petunjuk bagi orang-orang berakal. Siapa hamba yang pengetahuaanya sangat tidak mumpuni untuk berlagak sok tahu. Maha Benar Engkau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar